Sistem imun merupakan suatu usaha atau
mekanisme yang dilakukan oleh tubuh dalam mengeliminasi benda asing yang
berpotensi bahaya terhadap tubuh. Benda asing yang dimaksud dapat berupa sel
kanker, sel tumor, maupun agen penginfeksi seperti cacing, fungi, protozoa, bakteri,
dan virus. Meskipun sistem imun memiliki kemampuan untuk melawan berbagai
invasi dari benda asing tersebut, namun kerja dari sistem imun sendiri sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah zat gizi.
Zat gizi memiliki kemampuan dalam memelihara
dan meningkatkan sistem imun. Muis
(2001) menyatakan bahwa zat gizi mikro memiliki peranan penting dalam proses
imunologi, sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap
respon imun. Sistem imun juga memerlukan antioksidan yang dapat berperan dalam
produksi serta menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises). Dengan kata lain,
tubuh memerlukan nutrisi penting dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat
bekerja secara optimal. Berdasarkan kajian Wolfers, Danielle AW et. al. dalam jurnal yang berjudul “Effect of a mixture of micronutrients, but
not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in healthy
volunteers: a randomized placebo-controlled study” menyatakan bahwa komponen-komponen makanan
yang memiliki efek terhadap sistem imun diantaranya adalah vitamin C, vitamin
E, beta karoten, zink, dan kolostrum. Jurnal ini mengkaji lebih lanjut mengenai
efek bovine colostrum concentrate dan
campuran mikronutrien (vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten) terhadap sistem
imun. Dalam
jurnal hasil kajian Wolfers,
Danielle AW et. al. tersebut dikatakan bahwa beberapa studi menyatakan vitamin C
dapat meningkatkan fungsi sel imun yang berperan dalam proses fagositosis,
neutrophil kemotaksis, dan proliferasi sel limfosit. Vitamin E dapat merespon
produksi antibody terhadap hepatitis-B dan tetanus, beta-karoten dapat
meningkatkan aktivitas dari sel NK dan produksi TNF-α. Sedangkan kolostrum
mengandung laktoferin, lactoperoksidase, lisozim, cytokine, dan Imunoglobulin,
terutama IgG, yang dapat mengikat dan menetralisir pathogen dalam usus.
Berbagai parameter sistem imun diamati di dalam jurnal penelitian ini,
diantaranya ialah lymphocyte
proliferation, lymphocyte subset distribution, phagocytosis, delayed-type
hypersensitivity (DTH) responses, response to tetanus and (oral) typhoid vaccination, dan oksidative burst. Hasil menunjukkan bahwa dosis harian rendah
dari bovine colostrum concentrate
tidak meningkatkan parameter imunitas pada partisipan sehat sedangkan
suplementasi vitamin E, vitamin C, beta-karoten, dan zink memberikan efek
positif terhadap DTH-reponse, khususnya pada partisipan yang usianya lebih tua.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa parameter sistem
imun yang disebutkan dalam jurnal hasil kajian Wolfers, Danielle AW et.
al. yaitu, sel limfosit, sel fagosit, respon DTH memiliki fungsi-fungsi
khusus di dalam tubuh, khususnya dalam melawan invasi benda-benda asing yang
berpotensi berbahaya bagi tubuh. Sel limfosit terdiri dari dua jenis, yaitu
limfosit B dan Limfosit T. Limfosit B berfungsi untuk menghasilkan antibody
(Ab) untuk melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Dimana, antigen merupakan
molekul atau partikel asing berupa protein pada tubuh yang dapat menginduksi
respon imun. Limfosit T berfungsi menghasilkan cytokine yang merupakan
regulator dari sel imun. Sedangkan sel fagosit berfungsi untuk melakukan
fagositosis, yaitu menelan benda asing baik berupa bakteri ataupun virus. Kerja
dari sel imun tersebut sangat penting untuk mempertahankan tubuh dari invasi
benda asing dan kerjanya sangat dipengaruhi oleh komponen nutrisi dalam bahan
pangan.
Hasil
penelitian lain yang menunjukkan peranan komponen bahan pangan terhadap sistem
imun ditunjukkan dari hasil kajian Fuente, Monica de la et.al. dalam jurnal yang
berjudul “Vitamin E ingestion improves several immune functions in elderly men
and women”. Dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa penurunan fungsi
sistem imun atau immunosenescence memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
serangan kanker dan penyakit menular pada orang tua. Antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten memiliki kemampuan untuk mencegah
terjadinya kerusakan oksidatif. Dimana kerusakan tersbut disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan yang berdampak pada
terjadinya stress oksidative. Ketidakseimbangan tersebut
muncul karena adanya radikal bebas yang memiliki potensi yang sangat tinggi
dalam merusak fungsi biologis dan berkontribusi terhadap proses immunosenescence atau penuaan. Vitamin E
merupakan antioksidan larut lemak yang penting dalam mencegah terjadinya
peroksidasi lipid pada jaringan tubuh.
Fuente,
Monica de la et.al. dalam jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan berdasarkan
beberapa studi, kekurangan konsumsi vitamin E dapat menyebabkan ganggungan
fungsi sel imun dan supplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan
fungsi dari sel T. Sebagaimana diketahui bahwa sel T berperan dalam imunitas
seluler dengan mendestruksi langsung benda asing melalui mekanisme
non-fagositosis. Dalam jurnal ini dikaji lebih lanjut mengenai efek vitamin E
terhadap kemampuan menempel sel limfosit pada endothelium, dimana kemampuan
menempel suatu sel limfosit pada endothelium merupakan salah satu faktor
penting dalam mekanismennya melawan invasi bakteri, selain itu dikaji juga
mengenai kemampuan kemotaksis dari sel limfosit, proliferasi sel limfosit,
produksi interleukin-2, kemampuan fagositosis dan menempel pada endotelium dari
neutrophil, dan kemampuan sel Natural
Killer (NK) dalam melawan sel tumor.
Fuente,
Monica de la et.al. dalam jurnalnya memaparkan bahwa
suplementasi vitamin E selama tiga
bulan pada lansia baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita memberikan
peningkatan yang signifikan terhadap beberapa fungsi sel limfosit, neutrophil,
dan sel NK. Age-related immune
dysfunction banyak terjadi pada lansia yang mengakibatkan mereka sangat
rentan terhadap serangan kanker dan penyakit menular lainnya. Proses penuaan
dapat menurunkan aktivitas dari sel imun, diantaranya adalah adanya penurunan produksi
interleukin-2 oleh limfosit T, kemampuan kemotaksis dari sel limfosit dan
kemampuan fagositosis juga ditemukan menurun pada lansia. Namun, hal tersebut
dapat dicegah bahkan diatasi dengan suplementasi antioksidan. Pemberian
antioksidan seperti vitamin E pada lansia selama tiga bulan menunjukkan adanya
peningkatan fungsi sel imun, diantaranya meningkatnya kemampuan proliferasi,
produksi interleukin-2, dan kemampuan menempel pada endothelium dari sel
limfosit. Kemampuan fagositosis dan kemotaksis dari sel neutrophil juga
meningkat karena adanya suplementasi dari vitamin E. Meningkatnya respon sistem
imun tersebut dapat mencegah bahkan mengatasi kanker maupun penyakit menular.
Sehingga Fuente, Monica de la et.al.
dalam jurnalnya menyatakan bahwa suplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan
respon sistem imun yang ditunjukkan oleh aktivitas dari sel limfosit, sel NK
dan nautrofil.
Berdasarkan
pemaparan dari kedua jurnal diatas diketahui bahwa komponen-komponen yang
terdapat di dalah bahan pangan, khususnya komponen mikro dan antioksidan
lainnya memiliki peranan yang penting di dalam menjaga dan memelihara sistem
imun. Dimana, sistem imun dapat bekerja secara optimal jika asupan tubuh akan
nutrisi-nutrisi penting dapat tercukupi. Konsumsi dari zat gizi tersebut dapat
menjadi regulator bagi sel imun sehingga fungsi-fungsi fisiologis tubuh tidak
terganggu dan terpelihara dengan baik.
Sumber:
Danielle AW Wolvers, Wendy MR van
Herpen-Broekmans, Margot HGM Logman, Reggy PJ van der Wielen and Ruud Albers.
2006. Effect of a mixture of micronutrients,
but not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in
healthy volunteers: a randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 2006, 5:28.
Monica de la fuente, Angel Ernanz, Noelia
Guayerbas, Victor Manuel Victor, and Francisco Arnalich. 2007. “Vitamin E ingestion improves several immune
functions in elderly men and women”. Free Radical Research, March 2008;
42(3): 272_280