Error-prone
PCR merupakan suatu
metode atau teknik mutagenesis acak yang memungkinkan untuk menjelaskan
hubungan struktur protein dan fungsinya dengan cara memperbaiki atau merubah
urutan polipeptida. Dimana, asam amino akan divariasikan secara acak pada
susunan polipeptida untuk mendapatkan kombinasi – kombinasi baru dan kemudian
menyeleksi produk gen baru, dalam hal ini protein. Metode Error-prone PCR didasarkan
pada metode PCR. Normalnya, replikasi DNA akan berlangsung secara spesifik,
namun yang berbeda dari metode error-prone
PCR ini adalah ketepatan dari Taq DNA polymerase diatur oleh perubahan komposisi dari reaction buffer. Pada kondisi tersebut, polymerase membuat kesalahan pada proses
pemasangan basa selama sintesis DNA yang menghasilkan error pada complementary DNA strand yang baru disintesis. Dengan mengontrol secara hati-hati
komposisi buffer, frekuensi kesalahan penggabungan basa nukleotida dan jumlah error pada sekuens DNA dapat diregulasi.
Wanita yang berpikir akan mampu mengubah padang pasir menjadi kebun yang indah.
Sabtu, 01 Desember 2012
D-Psicose 3-Epimerase
D-Psicose 3-Epimerase. D-Psicose 3 Epimerase merupakan enzim yang
mengkatalisis konversi D-psicose dari fruktosa melalui epimerasi pada atom
karbon nomor 3 dari fruktosa. D-psicose merupakan suatu ketoheksosa dan
merupakan epimer dari fruktosa, dimana perbedaannya terletak pada posisi gugus
hidroksil pada atom karbon nomor 3. Psicose dapat digunakan sebagai gula
tambahan pada produk pangan karena tingkat kemanisannya sekitar 70% mendekati
sukrosa. D-psicose juga memiliki keunggulan lain karena kalori yang disediakan
sekitar 0.2 kcal/gr dan menurunkan respon glikemik di dalam tubuh. Penggunaan
enzim D-Psicose 3-Epimerase dalam mengkatalisis konversi D-psicose dari
D-fruktosa lebih efektif dibandingkan D-tagatose 3-epimerase.
Senin, 12 November 2012
Sistem Imun dan Nutrisi Pangan
Sistem imun merupakan suatu usaha atau
mekanisme yang dilakukan oleh tubuh dalam mengeliminasi benda asing yang
berpotensi bahaya terhadap tubuh. Benda asing yang dimaksud dapat berupa sel
kanker, sel tumor, maupun agen penginfeksi seperti cacing, fungi, protozoa, bakteri,
dan virus. Meskipun sistem imun memiliki kemampuan untuk melawan berbagai
invasi dari benda asing tersebut, namun kerja dari sistem imun sendiri sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah zat gizi.
Zat gizi memiliki kemampuan dalam memelihara
dan meningkatkan sistem imun. Muis
(2001) menyatakan bahwa zat gizi mikro memiliki peranan penting dalam proses
imunologi, sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap
respon imun. Sistem imun juga memerlukan antioksidan yang dapat berperan dalam
produksi serta menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises). Dengan kata lain,
tubuh memerlukan nutrisi penting dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat
bekerja secara optimal. Berdasarkan kajian Wolfers, Danielle AW et. al. dalam jurnal yang berjudul “Effect of a mixture of micronutrients, but
not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in healthy
volunteers: a randomized placebo-controlled study” menyatakan bahwa komponen-komponen makanan
yang memiliki efek terhadap sistem imun diantaranya adalah vitamin C, vitamin
E, beta karoten, zink, dan kolostrum. Jurnal ini mengkaji lebih lanjut mengenai
efek bovine colostrum concentrate dan
campuran mikronutrien (vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten) terhadap sistem
imun. Dalam
jurnal hasil kajian Wolfers,
Danielle AW et. al. tersebut dikatakan bahwa beberapa studi menyatakan vitamin C
dapat meningkatkan fungsi sel imun yang berperan dalam proses fagositosis,
neutrophil kemotaksis, dan proliferasi sel limfosit. Vitamin E dapat merespon
produksi antibody terhadap hepatitis-B dan tetanus, beta-karoten dapat
meningkatkan aktivitas dari sel NK dan produksi TNF-α. Sedangkan kolostrum
mengandung laktoferin, lactoperoksidase, lisozim, cytokine, dan Imunoglobulin,
terutama IgG, yang dapat mengikat dan menetralisir pathogen dalam usus.
Berbagai parameter sistem imun diamati di dalam jurnal penelitian ini,
diantaranya ialah lymphocyte
proliferation, lymphocyte subset distribution, phagocytosis, delayed-type
hypersensitivity (DTH) responses, response to tetanus and (oral) typhoid vaccination, dan oksidative burst. Hasil menunjukkan bahwa dosis harian rendah
dari bovine colostrum concentrate
tidak meningkatkan parameter imunitas pada partisipan sehat sedangkan
suplementasi vitamin E, vitamin C, beta-karoten, dan zink memberikan efek
positif terhadap DTH-reponse, khususnya pada partisipan yang usianya lebih tua.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa parameter sistem
imun yang disebutkan dalam jurnal hasil kajian Wolfers, Danielle AW et.
al. yaitu, sel limfosit, sel fagosit, respon DTH memiliki fungsi-fungsi
khusus di dalam tubuh, khususnya dalam melawan invasi benda-benda asing yang
berpotensi berbahaya bagi tubuh. Sel limfosit terdiri dari dua jenis, yaitu
limfosit B dan Limfosit T. Limfosit B berfungsi untuk menghasilkan antibody
(Ab) untuk melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Dimana, antigen merupakan
molekul atau partikel asing berupa protein pada tubuh yang dapat menginduksi
respon imun. Limfosit T berfungsi menghasilkan cytokine yang merupakan
regulator dari sel imun. Sedangkan sel fagosit berfungsi untuk melakukan
fagositosis, yaitu menelan benda asing baik berupa bakteri ataupun virus. Kerja
dari sel imun tersebut sangat penting untuk mempertahankan tubuh dari invasi
benda asing dan kerjanya sangat dipengaruhi oleh komponen nutrisi dalam bahan
pangan.
Hasil
penelitian lain yang menunjukkan peranan komponen bahan pangan terhadap sistem
imun ditunjukkan dari hasil kajian Fuente, Monica de la et.al. dalam jurnal yang
berjudul “Vitamin E ingestion improves several immune functions in elderly men
and women”. Dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa penurunan fungsi
sistem imun atau immunosenescence memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
serangan kanker dan penyakit menular pada orang tua. Antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten memiliki kemampuan untuk mencegah
terjadinya kerusakan oksidatif. Dimana kerusakan tersbut disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan yang berdampak pada
terjadinya stress oksidative. Ketidakseimbangan tersebut
muncul karena adanya radikal bebas yang memiliki potensi yang sangat tinggi
dalam merusak fungsi biologis dan berkontribusi terhadap proses immunosenescence atau penuaan. Vitamin E
merupakan antioksidan larut lemak yang penting dalam mencegah terjadinya
peroksidasi lipid pada jaringan tubuh.
Fuente,
Monica de la et.al. dalam jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan berdasarkan
beberapa studi, kekurangan konsumsi vitamin E dapat menyebabkan ganggungan
fungsi sel imun dan supplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan
fungsi dari sel T. Sebagaimana diketahui bahwa sel T berperan dalam imunitas
seluler dengan mendestruksi langsung benda asing melalui mekanisme
non-fagositosis. Dalam jurnal ini dikaji lebih lanjut mengenai efek vitamin E
terhadap kemampuan menempel sel limfosit pada endothelium, dimana kemampuan
menempel suatu sel limfosit pada endothelium merupakan salah satu faktor
penting dalam mekanismennya melawan invasi bakteri, selain itu dikaji juga
mengenai kemampuan kemotaksis dari sel limfosit, proliferasi sel limfosit,
produksi interleukin-2, kemampuan fagositosis dan menempel pada endotelium dari
neutrophil, dan kemampuan sel Natural
Killer (NK) dalam melawan sel tumor.
Fuente,
Monica de la et.al. dalam jurnalnya memaparkan bahwa
suplementasi vitamin E selama tiga
bulan pada lansia baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita memberikan
peningkatan yang signifikan terhadap beberapa fungsi sel limfosit, neutrophil,
dan sel NK. Age-related immune
dysfunction banyak terjadi pada lansia yang mengakibatkan mereka sangat
rentan terhadap serangan kanker dan penyakit menular lainnya. Proses penuaan
dapat menurunkan aktivitas dari sel imun, diantaranya adalah adanya penurunan produksi
interleukin-2 oleh limfosit T, kemampuan kemotaksis dari sel limfosit dan
kemampuan fagositosis juga ditemukan menurun pada lansia. Namun, hal tersebut
dapat dicegah bahkan diatasi dengan suplementasi antioksidan. Pemberian
antioksidan seperti vitamin E pada lansia selama tiga bulan menunjukkan adanya
peningkatan fungsi sel imun, diantaranya meningkatnya kemampuan proliferasi,
produksi interleukin-2, dan kemampuan menempel pada endothelium dari sel
limfosit. Kemampuan fagositosis dan kemotaksis dari sel neutrophil juga
meningkat karena adanya suplementasi dari vitamin E. Meningkatnya respon sistem
imun tersebut dapat mencegah bahkan mengatasi kanker maupun penyakit menular.
Sehingga Fuente, Monica de la et.al.
dalam jurnalnya menyatakan bahwa suplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan
respon sistem imun yang ditunjukkan oleh aktivitas dari sel limfosit, sel NK
dan nautrofil.
Berdasarkan
pemaparan dari kedua jurnal diatas diketahui bahwa komponen-komponen yang
terdapat di dalah bahan pangan, khususnya komponen mikro dan antioksidan
lainnya memiliki peranan yang penting di dalam menjaga dan memelihara sistem
imun. Dimana, sistem imun dapat bekerja secara optimal jika asupan tubuh akan
nutrisi-nutrisi penting dapat tercukupi. Konsumsi dari zat gizi tersebut dapat
menjadi regulator bagi sel imun sehingga fungsi-fungsi fisiologis tubuh tidak
terganggu dan terpelihara dengan baik.
Sumber:
Danielle AW Wolvers, Wendy MR van
Herpen-Broekmans, Margot HGM Logman, Reggy PJ van der Wielen and Ruud Albers.
2006. Effect of a mixture of micronutrients,
but not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in
healthy volunteers: a randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 2006, 5:28.
Monica de la fuente, Angel Ernanz, Noelia
Guayerbas, Victor Manuel Victor, and Francisco Arnalich. 2007. “Vitamin E ingestion improves several immune
functions in elderly men and women”. Free Radical Research, March 2008;
42(3): 272_280
Paleolithic Nutrition
Phaleolitic nutrition merupakan diet yang diterapkan oleh
nenek moyang kita. Orang-orang yang
hidup di zaman paleolitikum mengkonsumsi makanan alami yang berasal dari alam.
Makanan yang mereka makan cenderung tidak melalui berbagai tahapan proses
seperti makanan yang kita makan di zaman sekarang (era modern). Mereka menerapkan
pola hidup hunter-gatherer, yaitu
berburu dan mengumpulkan makanan. Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan
membuat tubuh mereka kuat dan sehat. Hasil kajian sejarah dan antropologi menyatakan
bahwa pola hidup hunter-gatherer
secara umum lebih sehat dan bebas dari berbagai macam penyakit degeneratif
seperti yang banyak diderita oleh masyarakat modern saat ini.
Secara sosial,
kita adalah manusia yang hidup di zaman modern akan tetapi, susunan genetik
kita masih sama dengan manusia yang hidup di zaman paleolitikum. Gen manusia
sebagian besar tidak berubah sejak zaman paleolitikum hingga sekarang. Namun,
perubahan pola makan dan gaya hidup manusia telah berubah sejak revolusi
pertanian 10.000 tahun yang lalu. Ketidaksesuaian antara gaya hidup yang modern
dan pola makan yang berubah terhadap gen paleolithic kita memainkan peran yang sangat
signifikan terhadap munculnya berbagai macam penyakit degeneratif seperti
obesitas, hipertensi, diabetes, dan atherosclerotic
cardiovascular disease.
Masyarakat
yang hidup di zaman paleolithikum hanya mengkonsumsi makanan alami yang berasal
dari alam, belum diproses, dan mengkonsumsi ternak atau hewan lainnya yang
merupakan hasil buruan mereka. Diet tersebut mengandung protein yang tinggi, polyunsaturated fat (seperti asam lemak
omega-3), monounsaturated fat, serat,
vitamin, mineral, antioksidan, dan komponen fitokima lain yang bermanfaat bagi
tubuh manusia. Akan tetapi, masyarakat di zaman
modern ini sebagian besar hidup dan menetap di kota-kota besar serta banyak
mengkonsumsi makanan yang diproses secara sintetik. Berdasarkan hasil kajian
James H. O’KEEFE et.al. dalam jurnal
yang berjudul “Cardiovascular Disease
Resulting From a Diet and Lifestyle at Odds With Our Paleolithic Genome: How to
Become a 21st-Century Hunter-Gatherer “ menyatakan bahwa dua pertiga masyarakat menderita
obesitas, hipertensi, 40% mengalami gangguan proses metabolisme, dan 41%
kematian oleh penyakit kardiovaskular. Meskipun saat ini ilmu dibidang
farmakologi telah berkembang pesat, namun hal tersebut belum mampu mengatasi
berbagai penyakit karidovaskular. Hal tersebut didasarkan oleh gen yang kita
miliki tidak pernah mengalami perubahan sedangkan gaya hidup dan pola makan
kita telah berubah.
Di zaman modern ini kita lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang serba
instant dan mengandung karbohidrat murni. Makanan yang serba instant tersebut
tentunya sangat beresiko terhadap kesehatan karena mengandung berbagai komponen
atau senyawa yang berbahaya. Selain itu, tuntuntan akan ketersedian makanan
dalam jangka waktu yang lama juga mendorong terciptanya berbagai macam produk
olahan yang awet sebagai upaya dalam menjaga ketersediaan makanan tersebut untuk
waktu yang lama. Akibatnya, demi memperpanjang masa simpan dari produk olahan
tersebut maka digunakan berbagai macam bahan tambahan pangan untuk mengawetkannya.
Selain itu, mutu organoleptik suatu makanan lebih diutamakan dibandingkan
keamanan dari makanan itu. Hal tersebut mendorong para produsen makanan
menggunakan berbagai macam bahan-bahan tambahan untuk meningkatkan mutu
organoleptik makanan. Bahan tambahan yang digunakan, baik dengan tujuan untuk
mengawetkan ataupun meningkatkan mutu organoletik produk, merupakan suatu
senyawa asing (xenobiotik) yang di dalam tubuh akan mengalami sistem detoks.
Selain itu, senyawa tersebut sangat berpotensi untuk mengganggu kesehatan
manusia karena dapat menyebabkan kesalahan metabolisme. Adanya kesalahan
metabolisme dapat menimbulkan berbagai macam penyakit degeneratif.
Dalam jurnal hasil kajian James H. O’KEEFE et.al. tersebut juga dikatakan bahwa
sebuah studi menunjukkan pada populasi yang beralih mengkonsumsi biji-bijian memiliki umur yang lebih pendek,
kematian anak meningkat, dan kecenderungan untuk terjadinya osteoporosis,
rakhitis, serta defisiensi mineral dan vitamin meningkat. Selain itu,
ketika orang-orang mulai
mengadopsi pola hidup Western dan
meninggalkan pola hidup Hunter-gatherer maka angka obesitas, diabetes tipe 2, dan berbagai
penyakit degeneratif lainnya mulai muncul dan berkembang sangat pesat.
James H. O’KEEFE et.al. dalam
jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan studi-studi tentang hubungan antara diet dan penyakit degeneratif, para ahli
menyimpulkan terdapat tiga pendekatan diet utama untuk mencegah penyakit
kardiovaskular, yaitu memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan,
kacang-kacangan, whole-grain, menghindari makanan yang
mengandung kadar glikemik tinggi, menggantikan lemak jenuh dan lemak trans
dengan polyunsaturated fat dan monounsaturated fat, memperbanyak
konsumsi omega-3 yang berasal dari ikan dan tanaman seperti kacang-kacangan.
Omega-3 merupakan asam lemak yang tergolong
polyunsaturated fat dan sering disebut dengan anti-inflamasi. Berdasarkan
hasil penelitian yang melibatkan 1000 penderita jantung koroner menunjukkan
bahwa konsumsi makanan yang mengandung omega-3, monounsaturated fat, sayur-sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan
menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Kacang-kacangan juga kaya akan
kandungan monounsaturated fat yang
dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular. Nenek moyang kita yang hidup
pada zaman paleolithikum mengkonsumsi kacang sebagai sumber kalori. Hasil studi
dalam jurnal ini menunjukkan bahwa konsumsi kacang-kacangan 5 kali dalam seminggu dapat menurunkan
resiko myocardial infarction sebanyak
50% jika dibandingkan dengan orang-orang yang jarang mengkonsumsi
kacang-kacangan. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa konsumsi
kacang-kacangan dapat mereduksi resiko penyakit diabetes tipe 2, menurunkan LDL
tanpa menurunkan HDL, dan menyediakan komponen lain yang sangat potensial untuk cardioprotective seperti vitamin E,
folat, magnesium, Cu, Zn, dan selenium. Selain itu, karena kandungan serat,
protein, dan lemaknya kacang-kacangan memberikan rasa kenyang yang cukup lama
dibandingkan makanan dengan kadar glikemik tinggi seperti yang sering kita
konsumsi sehari-hari.
Dalam jurnal
tersebut juga dikatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, makanan yang
dikonsumsi sangan erat kaitannya dengan energy
intake dan energy output. Warisan
dari zaman paleolithikum menunjukkan bahwa nenek moyang kita dahulu
mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi bertujuan untuk memenuhi
kebutuhannya. Dimana, mereka membutuhkan energi yang cukup besar untuk berburu
dan mengumpulkan makanan. Sumber-sumber kalori yang banyak dikonsumsi oleh
nenek moyang kita terdahulu adalah lemak dan pati. Akan tetapi, di zaman modern ini ternyata
makanan tersebut justru menimbulkan berbagai macam penyakit seperti obesitas,
gangguan fungsi metabolisme, hipertensi, dan penyakit karidovaskular. Hal
tersebut disebabkan karena di era modern ini konsumsi makanan tersebut tidak
berimbang dengan energi yang kita butuhkan dan kita cenderung mengkonsumsinya
dalam jumlah yang berlebihan.
Selain itu,
dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat zaman paleolitikum
mengkonsumsi air secara ekslusif. Konsumsi air tersebut dapat menurunkan resiko
penyakit jantung koroner. Berbeda halnya dengan masyarakat zaman modern yang
lebih banyak mengkonsumsi minuman bersoda yang memiliki kalori tinggi. Hal
tersebut berkontribusi terhadap obesitas dan resistensi terhadap insulin. Disamping
itu, jus buah yang beredar dipasaran juga mengandung gula yang tinggi sehingga akan
lebih baik untuk mengkonsumsi buah segar yang kaya akan serat dan kadar
glikemik rendah.
Dalam jurnal
lain yang dikaji oleh Tommy Jonsson et.al.
yang berjudul “Beneficial effects of a Paleolithic
diet on cardiovascular risk factors in type 2 diabetes: a randomized cross-over pilot study “
menyatakan perbandingan antara efek Paleolithic
diet dengan diet bagi para penderita diabetes yang secara umum disarankan,
terhadap resiko penyakit kardiovaskular pada penderita diabetes tipe 2 yang
tidak ditreatment dengan insulin. Hal yang melatarbelakangi penelitian tersebut
adalah management dietary untuk para penderita diabetes
tipe 2 memiliki kualitas rendah. Oleh karena itu, sebuah pendekatan kemudian
disarankan yaitu Paleolithic diet.
Hal tersebut didasari bahwa makanan yang dimakan secara teratur selama evolusi
manusia, khususnya zaman paleolithikum mungkin optimal dalam pencegahan dan
pengobatan diabetes tipe 2. Paleolithic
diet mencakup ikan, kerang-kerangan, buah-buahan, sayuran, sayuran akar,
telur, dan kacang-kacangan.
Dari
penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien diabetes type 2 yang disarankan
mengikuti paleolithic diet menunjukkan hasil yang lebih rendah
terhadap glycated haemoglobin A1c, diastolic blood pressure, berat, dan
lingkar pinggang jika dibandingkan dengan pasien yang mengikuti diet umum yang
disarankan untuk para penderita diabetes. Akan tetapi untuk glucose tolerance tidak berbeda secara
signifikan. Perbedaan antara paleolithic
diet dan diet diabetes yang disarankan
adalah paleolithic diet lebih rendah
dalam mengkonsumsi sereal dan produk susu dan lebih tinggi dalam mengkonsumsi
buah, sayuran, telur, dan daging. Selain itu,
paleolithic diet lebih rendah
untuk total energi, densitas energi, karbohidrat, dietary glycemic load, asam lemak jenuh dan lebih tinggi terhadap
kandungan asam lemak tidak jenuh dan vitamin. Glycemic index untuk paleolithic
diet lebih rendah dibandingkan dengan diet diabetes yang disarankan.
Dalam
jurnal tersebut juga dinyatakan bahwa pada pasien yang mengikuti Paleolithic
diet menunjukkan kadar
glukosa darah dan insulin menurun. Keadaan tersebut meningkatkan control glycemic. Adanya peningkatan control glycemic juga meningkatkan
sensitivitas insulin yang menyebabkan insulin bekerja secara efisien. Adanya
peningkatan terhadap control glycemic
juga dapat menekan berbagai faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Dalam jurnal
lain yang dikaji oleh Eaton et.al. dengan
judul “Paleolithic nutrition revisited:
A twelve-year retrospective on its nature and implications
“ menyatakan bahwa nutrisi
yang dibutuhkan manusia saat ini sama halnya dengan nutrisi yang dibutuhkan
oleh leluhur kita. Akan tetapi, sejak munculnya revolusi pertanian khususnya
revolusi industry 10.000 tahun yang lalu sistem genetik kita tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan tersebut. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa nenek
moyang kita yang hidup pada zaman paleolithikum memiliki tubuh yang tinggi dan
ramping, berbeda halnya dengan manusia di era modern ini. Hal tersebut
disebabkan karena adanya aktivitas fisik yang sangat berat karena pola hidup hunter-gatherer. Selain itu, makanan
yang mereka makan berasal dari tanaman liar yang rendah lemak akan tetapi kaya
akan kandungan protein, serat, dan mikronutrient lainnya. Mereka umumnya
mengkonsumsi makanan tesebut beberapa jam setelah dikumpulkan, tanpa ada proses
pengolahan, dan bahkan dalam keadaan mentah.
Eaton et.al. juga menyatakan dalam jurnalnya
bahwa masyarakat modern saat ini mengkonsumsi natrium sebesar 4000 mg/hari yang 75% diperoleh dari
bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam makanan. Sedangkan rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Amerika untuk konsumsi natrium per hari adalah 500 – 2400 mg/hari. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan konsumsi kalium per hari yang disarankan, yaitu sebesar 2500 –
3400 mg/hari. Besarnya konsumsi natrium dibandingkan konsumsi kalium dapat
menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit akibat ketidakseimbangan sistem
metabolisme.
Dalam jurnal tersebut juga dikatakan
bahwa asupan karbohidrat masyarakat zaman paleolithikum adalah sebesar 45-50%
energi harian. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh masyarakat paleolithikum
kebanyakan berasal dari sayuran dan buah-buahan, hanya sedikit saja yang berasal
dari biji-bijian dan tidak satupun yang berasal dari tepung-tepungan. Berbeda
halnya dengan masyarakat modern saat ini
yang kebanyakan memenuhi asupan karbohidrat mereka dari gula dan pemanis
buatan. Selain itu, masyarakat modern lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang
memiliki indeks glikemik tinggi seperti kentang, jagung, beras, dan lainnya.
Makanan tersebut lebih cepat dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga sangat
berperan terhadap resiko terkena kanker dan diabetes mellitus.
Dalam jurnal ini juga dikatakan bahwa
hasil studi epidemiologi menunjukkan konsumsi daging sangat erat kaitannya
dengan atherosclerotic coronary artery
disease. Masyarakat zaman paleolithikum lebih cenderung mengkonsumsi lemak
yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan kacang-kacangan yang kaya
akan kandungan asam lemak tidak jenuh. Mereka sama sekali tidak mengkonsumsi diary products, berbeda halnya dengan
masyarakat modern saat ini. Masyarakat modern saat ini kebanyakan mengkonsumsi
diary product yang kaya akan kandungan lemak jenuh dan trans. Selain itu,
masyarakat modern lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang mengandung
kolesterol.
Eaton et.al. menyatakan bahwa pengalaman masyarakat paleolithikum dapat dijadikan
standar untuk asupan nutrisi, dimana konsumsi asupan nutrisi mereka seimbang,
yaitu tidak mengkonsumsi lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang terlalu
tinggi. Akan tetapi berdasarkan hasil kajian yang dicantumkan dalam jurnal ini
menyatakan bahwa konsumsi zat gizi haruslah sesuai dengan kebutuhan. Misalnya
jika seseorang mengalami defisiensi zat besi maka haruslah mengkonsumsi makanan
yang kaya akan kandungan zat besi. Akan tetapi, bagi orang-orang yang tidak
mengalami defisiensi zat besi hendaknya mengkonsumsi makanan yang mengandung
zat besi sewajarnya yang bertujuan untuk memelihara kesehatan. Konsumsinya
tidak boleh berlebihan karena dalam jumlah berlebih zat besi tersebut juga dapat
bersifat toksik bagi tubuh.
Berdasarkan hasil
kajian dari ketiga jurnal di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola makan yang
mengikuti paleolithic diet dan gaya hidup hunter-gatherer cenderung lebih sehat dibandingkan dengan pola
makan dan gaya hidup masyarakat modern. Adanya perubahan pola makan dan gaya
hidup pada masyarakat modern dapat memicu munculnya berbagai macam penyakit degeneratif.
Hal tersebut disebabkan sistem genetik masyarakat modern masih sama dengan sistem
genetik masyarakat paleolithikum, dimana sistem genetik kita belum mampu
beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Oleh karena itu, untuk
meminimalkan faktor resiko dari berbagai macam penyakit degenaratif maka
hendaknya masyarakat sekarang mencontoh pola makan dan gaya hidup masyarakat
paleolithikum, yaitu pola makan yang lebih banyak mengkonsumsi makanan yang
alami dibandingkan makanan yang diperoses secara sintetis, serta banyak
berolahraga untuk membantu menjaga kesehatan.
Langganan:
Postingan (Atom)