Wanita yang berpikir akan mampu mengubah padang pasir menjadi kebun yang indah.

Senin, 14 November 2011

Spora Bakteri dan Inaktivasi Spora Melalui Proses Iradiasi dan HHP


a.       Spora lebih tahan terhadap iradiasi atau HHP dibandingkan sel vegetatifnya disebabkan spora merupakan bentuk pertahanan diri dari mikroba  terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Dimana, korteks spora mengandung Calsium-Dipikolinat sedangkan pada dinding sel vegetatif tidak ditemukan. Calsium-Dipikolinat inilah yang bertanggung jawab terhadap ketahanan spora pada kondisi ekstrim, misalnya pada proses iradiasi ataupun HHP. Selain itu, kadar air spora juga rendah yang disebabkan oleh komponen peptidoglikan yang berikatan silang sehingga komponen-komponen peka panas seperti protein dibatasi mobilitasnya ke dalam protoplast.

b.      Inaktivasi Spora
  • Untuk menginaktivasi spora pada proses iradiasi digunakan dosis 10 – 50 kGy. Akan tetapi, dosis maksimum yang dizinkan pada makanan adalah ≥10 kGy. Sehingga untuk inaktivasi spora pada makanan proses iradiasi perlu dikombinasikan dengan pemanasan. Sebab dosis yang digunakan pada proses iradiasi makanan tidak dapat membunuh semua spora bakteri. Pemanasan sebelum proses iradiasi bertujuan untuk membuat spora bergerminasi. Setelah itu, dilakukan proses iradiasi dengan dosis maksimum 10 kGy untuk inaktivasi.
  • Untuk menginaktivasi spora pada proses HHP dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inaktivasi spora pada tekanan tinggi diatas 700 MPa dan inaktivasi dengan mengkombinasikan proses HHP dan pemanasan. Dimana, pada proses HHP diberikan tekanan yang rendah ≥100 MPa yang bertujuan untuk membuat spora bergerminasi membentuk sel vegetative, setelah itu diberikan treatment suhu tinggi untuk inaktivasi. Akan tetapi perlu diperhatikan terhadap perubahan sensory yang mungkin terjadi seiring dengan peningkatan tekanan yang digunakan, dimana pada tekanan 400 – 600 MPa dapat menyebabkan protein pada bahan pangan mengalami denaturasi. Misalnya pada produk daging, penerapan metode HHP dapat mengubah komponen Myoglobin, dimana terjadi perubahan Fe2+ menjadi Fe3+ dan globin akan mengalami denaturasi. Akibatnya, daging akan kehilangan warna merahnya. Semakin tinggi tekanan yang digunakan maka intensitas warna merah daging akan semakin berkurang. Penerapan proses HHP tidak mempengaruhi flavor dari produk, hal ini disebabkan HHP merupakan suatu proses nonthermal sehingga ikatan kovalen pada produk tidak rusak. Oleh karena itu, flavor dari produk tidak akan berubah meskipun diberikan tekanan yang tinggi selama proses.

Bioavailability Mineral

  1. Kalsium
    Bioavailability kalsium pada susu lebih tinggi disebabkan pada susu terdapat mineral ataupun zat gizi lain yang mampu membantu proses penyerapan kalsium di dalam tubuh, diantaranya ialah adanya kandungan fosfor, protein, dan laktosa. Sedangkan pada bahan/sumber nabati, misalnya bayam atau bekatul gandum, memiliki biovailability kalsium yang rendah. Hal tersebut disebabkan pada bayam mengandung asam oksalat sedangkan pada bekatul mengandung asam fitat. Senyawa tersebut merupakan inhibitor bagi penyerapan kalsium dalam tubuh, dimana asam oksalat ataupun asam fitat dapat berikatan dengan kalsium membentuk garam yang tidak larut.
     
  2. Iron (Fe). Konsumsi makanan yang mengandung zat besi lebih dianjurkan pada penderita kekurangan darah disebabkan pada darah terdapat hemoglobin, dimana hemoglobin ini memiliki cincin porfirin yang intinya adalah zat besi. Sehingga orang-orang yang menderita kekurangan darah dapat disebabkan karena kekurangan zat besi. Oleh karena itu, seseorang yang kekurangan darah perlu mengkonsumsi zat besi untuk memenuhi kebutuhannya akan zat besi Konsumsi zat besi dari produk hewani lebih dianjurkan dibandingkan dari produk nabati disebabkan zat besi pada produk hewani tergolong heme-iron yang mempunyai tingkat absorpsi tinggi, sekitar 20-30%. Sedangkan, pada produk nabati seperti teh, cereal, dan kacang-kacangan, zat besi yang terkandung didalamnya tergolong non-heme iron yang mempunyai tingkat absorpsi sekitar 1-5%. Selain itu, absorpsi zat besi dalam tubuh juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor. Inhibitor zat besi antara lain adalah polifenol yang banyak terkandung pada teh, kacang-kacangan dan sorgum, asam fitat yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan bekatul gandum, dan bahan-bahan yang mengandung kalsium dan fosfat juga dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Penyerapan zat besi juga dapat dibantu dengan mengkonsumsi vitamin C. Vitamin C mampu membantu proses reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih mudah diserap.
  3. Tembaga (Cu)
    Pengocokan yang berlebihan pada putih telur dapat mendorong terjadinya denaturasi protein yang berlebihan sehingga mempengaruhi stabilitas busa yang dihasilkan. Hal tersebut sangat tidak diinginkan ketika busa yang dihasilkan digunakan untuk pembuatan kue atau roti. Oleh karena itu, pada pengocokan putih telur disarankan untuk menggunakan wadah berbahan dasar tembaga sebagai wadah pengocokan. Hal tersebut disebabkan pada putih telur mengandung Conalbumin. Conalbumin tersebut dapat berikatan dengan Cu2+ membentuk senyawa kompleks, adanya ikatan tersebut membuat Conalbumin menjadi lebih stabil sehingga dapat mencegah denaturasi yang berlebihan selama proses pengocokan. Akibatnya, busa yang dihasilkan juga cenderung lebih stabil dan lebih kokoh.