Wanita yang berpikir akan mampu mengubah padang pasir menjadi kebun yang indah.

Sabtu, 01 Desember 2012

Error Prone PCR


Error-prone PCR merupakan suatu metode atau teknik mutagenesis acak yang memungkinkan untuk menjelaskan hubungan struktur protein dan fungsinya dengan cara memperbaiki atau merubah urutan polipeptida. Dimana, asam amino akan divariasikan secara acak pada susunan polipeptida untuk mendapatkan kombinasi – kombinasi baru dan kemudian menyeleksi produk gen baru, dalam hal ini protein. Metode Error-prone PCR  didasarkan pada metode PCR. Normalnya, replikasi DNA akan berlangsung secara spesifik, namun yang berbeda dari metode error-prone PCR  ini adalah ketepatan dari Taq DNA polymerase diatur oleh perubahan komposisi dari reaction buffer. Pada kondisi tersebut, polymerase membuat kesalahan pada proses pemasangan basa selama sintesis DNA yang menghasilkan error pada complementary DNA strand yang baru disintesis. Dengan mengontrol secara hati-hati komposisi buffer, frekuensi kesalahan penggabungan basa nukleotida dan jumlah error pada sekuens DNA dapat diregulasi.

D-Psicose 3-Epimerase


    D-Psicose 3-Epimerase. D-Psicose 3 Epimerase merupakan enzim yang mengkatalisis konversi D-psicose dari fruktosa melalui epimerasi pada atom karbon nomor 3 dari fruktosa. D-psicose merupakan suatu ketoheksosa dan merupakan epimer dari fruktosa, dimana perbedaannya terletak pada posisi gugus hidroksil pada atom karbon nomor 3. Psicose dapat digunakan sebagai gula tambahan pada produk pangan karena tingkat kemanisannya sekitar 70% mendekati sukrosa. D-psicose juga memiliki keunggulan lain karena kalori yang disediakan sekitar 0.2 kcal/gr dan menurunkan respon glikemik di dalam tubuh. Penggunaan enzim D-Psicose 3-Epimerase dalam mengkatalisis konversi D-psicose dari D-fruktosa lebih efektif dibandingkan D-tagatose 3-epimerase.

Senin, 12 November 2012

Sistem Imun dan Nutrisi Pangan


Sistem imun merupakan suatu usaha atau mekanisme yang dilakukan oleh tubuh dalam mengeliminasi benda asing yang berpotensi bahaya terhadap tubuh. Benda asing yang dimaksud dapat berupa sel kanker, sel tumor, maupun agen penginfeksi seperti cacing, fungi, protozoa, bakteri, dan virus. Meskipun sistem imun memiliki kemampuan untuk melawan berbagai invasi dari benda asing tersebut, namun kerja dari sistem imun sendiri sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah zat gizi.
Zat gizi memiliki kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan sistem imun. Muis (2001) menyatakan bahwa zat gizi mikro memiliki peranan penting dalam proses imunologi, sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respon imun. Sistem imun juga memerlukan antioksidan yang dapat berperan dalam produksi serta menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises). Dengan kata lain, tubuh memerlukan nutrisi penting dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat bekerja secara optimal. Berdasarkan kajian Wolfers, Danielle AW et. al. dalam jurnal yang berjudul “Effect of a mixture of micronutrients, but not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in healthy volunteers: a randomized placebo-controlled study” menyatakan bahwa komponen-komponen makanan yang memiliki efek terhadap sistem imun diantaranya adalah vitamin C, vitamin E, beta karoten, zink, dan kolostrum. Jurnal ini mengkaji lebih lanjut mengenai efek bovine colostrum concentrate dan campuran mikronutrien (vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten) terhadap sistem imun. Dalam jurnal hasil kajian Wolfers, Danielle AW et. al. tersebut  dikatakan bahwa beberapa studi menyatakan vitamin C dapat meningkatkan fungsi sel imun yang berperan dalam proses fagositosis, neutrophil kemotaksis, dan proliferasi sel limfosit. Vitamin E dapat merespon produksi antibody terhadap hepatitis-B dan tetanus, beta-karoten dapat meningkatkan aktivitas dari sel NK dan produksi TNF-α. Sedangkan kolostrum mengandung laktoferin, lactoperoksidase, lisozim, cytokine, dan Imunoglobulin, terutama IgG, yang dapat mengikat dan menetralisir pathogen dalam usus. Berbagai parameter sistem imun diamati di dalam jurnal penelitian ini, diantaranya ialah lymphocyte proliferation, lymphocyte subset distribution, phagocytosis, delayed-type hypersensitivity (DTH) responses, response to tetanus and (oral) typhoid vaccination, dan oksidative burst.  Hasil menunjukkan bahwa dosis harian rendah dari bovine colostrum concentrate tidak meningkatkan parameter imunitas pada partisipan sehat sedangkan suplementasi vitamin E, vitamin C, beta-karoten, dan zink memberikan efek positif terhadap DTH-reponse, khususnya pada partisipan yang usianya lebih tua.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa parameter sistem imun yang disebutkan dalam jurnal hasil kajian Wolfers, Danielle AW et. al. yaitu, sel limfosit, sel fagosit, respon DTH memiliki fungsi-fungsi khusus di dalam tubuh, khususnya dalam melawan invasi benda-benda asing yang berpotensi berbahaya bagi tubuh. Sel limfosit terdiri dari dua jenis, yaitu limfosit B dan Limfosit T. Limfosit B berfungsi untuk menghasilkan antibody (Ab) untuk melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Dimana, antigen merupakan molekul atau partikel asing berupa protein pada tubuh yang dapat menginduksi respon imun. Limfosit T berfungsi menghasilkan cytokine yang merupakan regulator dari sel imun. Sedangkan sel fagosit berfungsi untuk melakukan fagositosis, yaitu menelan benda asing baik berupa bakteri ataupun virus. Kerja dari sel imun tersebut sangat penting untuk mempertahankan tubuh dari invasi benda asing dan kerjanya sangat dipengaruhi oleh komponen nutrisi dalam bahan pangan.
Hasil penelitian lain yang menunjukkan peranan komponen bahan pangan terhadap sistem imun ditunjukkan dari hasil kajian Fuente, Monica de la et.al.  dalam jurnal yang berjudul “Vitamin E ingestion improves several immune functions in elderly men and women”. Dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa penurunan fungsi sistem imun atau  immunosenescence memberikan kontribusi yang signifikan terhadap serangan kanker dan penyakit menular pada orang tua. Antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, dan beta-karoten memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidatif. Dimana kerusakan tersbut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan yang berdampak pada terjadinya stress oksidative. Ketidakseimbangan tersebut muncul karena adanya radikal bebas yang memiliki potensi yang sangat tinggi dalam merusak fungsi biologis dan berkontribusi terhadap proses immunosenescence atau penuaan. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak yang penting dalam mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada jaringan tubuh.
Fuente, Monica de la et.al. dalam jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan berdasarkan beberapa studi, kekurangan konsumsi vitamin E dapat menyebabkan ganggungan fungsi sel imun dan supplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan fungsi dari sel T. Sebagaimana diketahui bahwa sel T berperan dalam imunitas seluler dengan mendestruksi langsung benda asing melalui mekanisme non-fagositosis. Dalam jurnal ini dikaji lebih lanjut mengenai efek vitamin E terhadap kemampuan menempel sel limfosit pada endothelium, dimana kemampuan menempel suatu sel limfosit pada endothelium merupakan salah satu faktor penting dalam mekanismennya melawan invasi bakteri, selain itu dikaji juga mengenai kemampuan kemotaksis dari sel limfosit, proliferasi sel limfosit, produksi interleukin-2, kemampuan fagositosis dan menempel pada endotelium dari neutrophil, dan kemampuan sel Natural Killer (NK) dalam melawan sel tumor.
Fuente, Monica de la et.al. dalam jurnalnya memaparkan bahwa suplementasi vitamin E selama tiga bulan pada lansia baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita memberikan peningkatan yang signifikan terhadap beberapa fungsi sel limfosit, neutrophil, dan sel NK. Age-related immune dysfunction banyak terjadi pada lansia yang mengakibatkan mereka sangat rentan terhadap serangan kanker dan penyakit menular lainnya. Proses penuaan dapat menurunkan aktivitas dari sel imun, diantaranya adalah adanya penurunan produksi interleukin-2 oleh limfosit T, kemampuan kemotaksis dari sel limfosit dan kemampuan fagositosis juga ditemukan menurun pada lansia. Namun, hal tersebut dapat dicegah bahkan diatasi dengan suplementasi antioksidan. Pemberian antioksidan seperti vitamin E pada lansia selama tiga bulan menunjukkan adanya peningkatan fungsi sel imun, diantaranya meningkatnya kemampuan proliferasi, produksi interleukin-2, dan kemampuan menempel pada endothelium dari sel limfosit. Kemampuan fagositosis dan kemotaksis dari sel neutrophil juga meningkat karena adanya suplementasi dari vitamin E. Meningkatnya respon sistem imun tersebut dapat mencegah bahkan mengatasi kanker maupun penyakit menular. Sehingga Fuente, Monica de la et.al. dalam jurnalnya menyatakan bahwa suplementasi vitamin E pada lansia dapat meningkatkan respon sistem imun yang ditunjukkan oleh aktivitas dari sel limfosit, sel NK dan nautrofil.
Berdasarkan pemaparan dari kedua jurnal diatas diketahui bahwa komponen-komponen yang terdapat di dalah bahan pangan, khususnya komponen mikro dan antioksidan lainnya memiliki peranan yang penting di dalam menjaga dan memelihara sistem imun. Dimana, sistem imun dapat bekerja secara optimal jika asupan tubuh akan nutrisi-nutrisi penting dapat tercukupi. Konsumsi dari zat gizi tersebut dapat menjadi regulator bagi sel imun sehingga fungsi-fungsi fisiologis tubuh tidak terganggu dan terpelihara dengan baik.



Sumber:
Danielle AW Wolvers, Wendy MR van Herpen-Broekmans, Margot HGM Logman, Reggy PJ van der Wielen and Ruud Albers. 2006. Effect of a mixture of micronutrients, but not of bovine colostrum concentrate, on immune function parameters in healthy volunteers: a randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 2006, 5:28.

Monica de la fuente, Angel Ernanz, Noelia Guayerbas, Victor Manuel Victor, and Francisco Arnalich. 2007. “Vitamin E ingestion improves several immune functions in elderly men and women”. Free Radical Research, March 2008; 42(3): 272_280

Paleolithic Nutrition


Phaleolitic nutrition merupakan diet yang diterapkan oleh nenek moyang kita. Orang-orang yang hidup di zaman paleolitikum mengkonsumsi makanan alami yang berasal dari alam. Makanan yang mereka makan cenderung tidak melalui berbagai tahapan proses seperti makanan yang kita makan di zaman sekarang (era modern). Mereka menerapkan pola hidup hunter-gatherer, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan. Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan membuat tubuh mereka kuat dan sehat.  Hasil kajian sejarah dan antropologi menyatakan bahwa pola hidup hunter-gatherer secara umum lebih sehat dan bebas dari berbagai macam penyakit degeneratif seperti yang banyak diderita oleh masyarakat modern saat ini.
Secara sosial, kita adalah manusia yang hidup di zaman modern akan tetapi, susunan genetik kita masih sama dengan manusia yang hidup di zaman paleolitikum. Gen manusia sebagian besar tidak berubah sejak zaman paleolitikum hingga sekarang. Namun, perubahan pola makan dan gaya hidup manusia telah berubah sejak revolusi pertanian 10.000 tahun yang lalu. Ketidaksesuaian antara gaya hidup yang modern dan pola makan yang berubah terhadap gen paleolithic kita memainkan peran yang sangat signifikan terhadap munculnya berbagai macam penyakit degeneratif seperti obesitas, hipertensi, diabetes, dan atherosclerotic cardiovascular disease.
Masyarakat yang hidup di zaman paleolithikum hanya mengkonsumsi makanan alami yang berasal dari alam, belum diproses, dan mengkonsumsi ternak atau hewan lainnya yang merupakan hasil buruan mereka. Diet tersebut mengandung protein yang tinggi, polyunsaturated fat (seperti asam lemak omega-3), monounsaturated fat, serat, vitamin, mineral, antioksidan, dan komponen fitokima lain yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Akan tetapi, masyarakat di zaman modern ini sebagian besar hidup dan menetap di kota-kota besar serta banyak mengkonsumsi makanan yang diproses secara sintetik. Berdasarkan hasil kajian James H. O’KEEFE et.al. dalam jurnal yang berjudul “Cardiovascular Disease Resulting From a Diet and Lifestyle at Odds With Our Paleolithic Genome: How to Become a 21st-Century Hunter-Gatherer “ menyatakan bahwa dua pertiga masyarakat menderita obesitas, hipertensi, 40% mengalami gangguan proses metabolisme, dan 41% kematian oleh penyakit kardiovaskular. Meskipun saat ini ilmu dibidang farmakologi telah berkembang pesat, namun hal tersebut belum mampu mengatasi berbagai penyakit karidovaskular. Hal tersebut didasarkan oleh gen yang kita miliki tidak pernah mengalami perubahan sedangkan gaya hidup dan pola makan kita telah berubah.
Di zaman modern ini kita lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang serba instant dan mengandung karbohidrat murni. Makanan yang serba instant tersebut tentunya sangat beresiko terhadap kesehatan karena mengandung berbagai komponen atau senyawa yang berbahaya. Selain itu, tuntuntan akan ketersedian makanan dalam jangka waktu yang lama juga mendorong terciptanya berbagai macam produk olahan yang awet sebagai upaya dalam menjaga ketersediaan makanan tersebut untuk waktu yang lama. Akibatnya, demi memperpanjang masa simpan dari produk olahan tersebut maka digunakan berbagai macam bahan tambahan pangan untuk mengawetkannya. Selain itu, mutu organoleptik suatu makanan lebih diutamakan dibandingkan keamanan dari makanan itu. Hal tersebut mendorong para produsen makanan menggunakan berbagai macam bahan-bahan tambahan untuk meningkatkan mutu organoleptik makanan. Bahan tambahan yang digunakan, baik dengan tujuan untuk mengawetkan ataupun meningkatkan mutu organoletik produk, merupakan suatu senyawa asing (xenobiotik) yang di dalam tubuh akan mengalami sistem detoks. Selain itu, senyawa tersebut sangat berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia karena dapat menyebabkan kesalahan metabolisme. Adanya kesalahan metabolisme dapat menimbulkan berbagai macam penyakit degeneratif.  
Dalam jurnal hasil kajian James H. O’KEEFE et.al. tersebut juga dikatakan bahwa sebuah studi menunjukkan pada populasi yang beralih mengkonsumsi biji-bijian memiliki umur yang lebih pendek, kematian anak meningkat, dan kecenderungan untuk terjadinya osteoporosis, rakhitis, serta defisiensi mineral dan vitamin meningkat. Selain itu, ketika        orang-orang mulai mengadopsi pola hidup Western dan meninggalkan pola hidup            Hunter-gatherer maka angka obesitas, diabetes tipe 2, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya mulai muncul dan berkembang sangat pesat.
James H. O’KEEFE et.al. dalam jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan studi-studi tentang hubungan antara diet dan penyakit degeneratif, para ahli menyimpulkan terdapat tiga pendekatan diet utama untuk mencegah penyakit kardiovaskular, yaitu memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, whole-grain, menghindari makanan yang mengandung kadar glikemik tinggi, menggantikan lemak jenuh dan lemak trans dengan polyunsaturated fat dan monounsaturated fat, memperbanyak konsumsi omega-3 yang berasal dari ikan dan tanaman seperti kacang-kacangan. Omega-3 merupakan asam lemak yang tergolong polyunsaturated fat dan sering disebut dengan anti-inflamasi. Berdasarkan hasil penelitian yang melibatkan 1000 penderita jantung koroner menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang mengandung omega-3, monounsaturated fat, sayur-sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Kacang-kacangan juga kaya akan kandungan monounsaturated fat yang dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular. Nenek moyang kita yang hidup pada zaman paleolithikum mengkonsumsi kacang sebagai sumber kalori. Hasil studi dalam jurnal ini menunjukkan bahwa konsumsi kacang-kacangan 5 kali dalam seminggu dapat menurunkan resiko myocardial infarction sebanyak 50% jika dibandingkan dengan orang-orang yang jarang mengkonsumsi kacang-kacangan. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa konsumsi kacang-kacangan dapat mereduksi resiko penyakit diabetes tipe 2, menurunkan LDL tanpa menurunkan HDL, dan menyediakan komponen lain yang sangat potensial untuk cardioprotective seperti vitamin E, folat, magnesium, Cu, Zn, dan selenium. Selain itu, karena kandungan serat, protein, dan lemaknya kacang-kacangan memberikan rasa kenyang yang cukup lama dibandingkan makanan dengan kadar glikemik tinggi seperti yang sering kita konsumsi sehari-hari.
 Dalam jurnal tersebut juga dikatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, makanan yang dikonsumsi sangan erat kaitannya dengan energy intake dan energy output. Warisan dari zaman paleolithikum menunjukkan bahwa nenek moyang kita dahulu mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dimana, mereka membutuhkan energi yang cukup besar untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Sumber-sumber kalori yang banyak dikonsumsi oleh nenek moyang kita terdahulu adalah lemak dan pati.  Akan tetapi, di zaman modern ini ternyata makanan tersebut justru menimbulkan berbagai macam penyakit seperti obesitas, gangguan fungsi metabolisme, hipertensi, dan penyakit karidovaskular. Hal tersebut disebabkan karena di era modern ini konsumsi makanan tersebut tidak berimbang dengan energi yang kita butuhkan dan kita cenderung mengkonsumsinya dalam jumlah yang berlebihan.
Selain itu, dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat zaman paleolitikum mengkonsumsi air secara ekslusif. Konsumsi air tersebut dapat menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Berbeda halnya dengan masyarakat zaman modern yang lebih banyak mengkonsumsi minuman bersoda yang memiliki kalori tinggi. Hal tersebut berkontribusi terhadap obesitas dan resistensi terhadap insulin. Disamping itu, jus buah yang beredar dipasaran juga mengandung gula yang tinggi sehingga akan lebih baik untuk mengkonsumsi buah segar yang kaya akan serat dan kadar glikemik rendah.
Dalam jurnal lain yang dikaji oleh Tommy Jonsson et.al. yang berjudul “Beneficial effects of a Paleolithic diet on cardiovascular risk factors in type 2 diabetes: a randomized  cross-over pilot study “ menyatakan perbandingan antara efek Paleolithic diet dengan diet bagi para penderita diabetes yang secara umum disarankan, terhadap resiko penyakit kardiovaskular pada penderita diabetes tipe 2 yang tidak ditreatment dengan insulin. Hal yang melatarbelakangi penelitian tersebut adalah management dietary untuk para penderita diabetes tipe 2 memiliki kualitas rendah. Oleh karena itu, sebuah pendekatan kemudian disarankan yaitu Paleolithic diet. Hal tersebut didasari bahwa makanan yang dimakan secara teratur selama evolusi manusia, khususnya zaman paleolithikum mungkin optimal dalam pencegahan dan pengobatan diabetes tipe 2. Paleolithic diet mencakup ikan, kerang-kerangan, buah-buahan, sayuran, sayuran akar, telur, dan kacang-kacangan.
Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien diabetes type 2 yang disarankan mengikuti paleolithic diet menunjukkan hasil yang lebih rendah terhadap glycated haemoglobin A1c, diastolic blood pressure, berat, dan lingkar pinggang jika dibandingkan dengan pasien yang mengikuti diet umum yang disarankan untuk para penderita diabetes. Akan tetapi untuk glucose tolerance tidak berbeda secara signifikan. Perbedaan antara paleolithic diet dan diet diabetes yang disarankan adalah paleolithic diet lebih rendah dalam mengkonsumsi sereal dan produk susu dan lebih tinggi dalam mengkonsumsi buah, sayuran, telur, dan daging. Selain itu,  paleolithic diet lebih rendah untuk total energi, densitas energi, karbohidrat, dietary glycemic load, asam lemak jenuh dan lebih tinggi terhadap kandungan asam lemak tidak jenuh dan vitamin. Glycemic index untuk paleolithic diet lebih rendah dibandingkan dengan diet diabetes yang disarankan.
 Dalam jurnal tersebut juga dinyatakan bahwa pada pasien yang mengikuti Paleolithic diet menunjukkan kadar glukosa darah dan insulin menurun. Keadaan tersebut meningkatkan control glycemic. Adanya peningkatan control glycemic juga meningkatkan sensitivitas insulin yang menyebabkan insulin bekerja secara efisien. Adanya peningkatan terhadap control glycemic juga dapat menekan berbagai faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Dalam jurnal lain yang dikaji oleh Eaton et.al. dengan judul “Paleolithic nutrition revisited: A twelve-year retrospective on its nature and implications “ menyatakan bahwa nutrisi yang dibutuhkan manusia saat ini sama halnya dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh leluhur kita. Akan tetapi, sejak munculnya revolusi pertanian khususnya revolusi industry 10.000 tahun yang lalu sistem genetik kita tidak mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut.  Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa nenek moyang kita yang hidup pada zaman paleolithikum memiliki tubuh yang tinggi dan ramping, berbeda halnya dengan manusia di era modern ini. Hal tersebut disebabkan karena adanya aktivitas fisik yang sangat berat karena pola hidup hunter-gatherer. Selain itu, makanan yang mereka makan berasal dari tanaman liar yang rendah lemak akan tetapi kaya akan kandungan protein, serat, dan mikronutrient lainnya. Mereka umumnya mengkonsumsi makanan tesebut beberapa jam setelah dikumpulkan, tanpa ada proses pengolahan, dan bahkan dalam keadaan mentah.
Eaton et.al. juga menyatakan dalam jurnalnya bahwa masyarakat modern saat ini mengkonsumsi natrium sebesar 4000 mg/hari yang 75% diperoleh dari bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam makanan. Sedangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Amerika untuk konsumsi natrium per hari adalah  500 – 2400 mg/hari. Hal tersebut berbanding terbalik dengan konsumsi kalium per hari yang disarankan, yaitu sebesar 2500 – 3400 mg/hari. Besarnya konsumsi natrium dibandingkan konsumsi kalium dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit akibat ketidakseimbangan sistem metabolisme.
Dalam jurnal tersebut juga dikatakan bahwa asupan karbohidrat masyarakat zaman paleolithikum adalah sebesar 45-50% energi harian. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh masyarakat paleolithikum kebanyakan berasal dari sayuran dan buah-buahan, hanya sedikit saja yang berasal dari biji-bijian dan tidak satupun yang berasal dari tepung-tepungan. Berbeda halnya dengan  masyarakat modern saat ini yang kebanyakan memenuhi asupan karbohidrat mereka dari gula dan pemanis buatan. Selain itu, masyarakat modern lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi seperti kentang, jagung, beras, dan lainnya. Makanan tersebut lebih cepat dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga sangat berperan terhadap resiko terkena kanker dan diabetes mellitus.
Dalam jurnal ini juga dikatakan bahwa hasil studi epidemiologi menunjukkan konsumsi daging sangat erat kaitannya dengan atherosclerotic coronary artery disease. Masyarakat zaman paleolithikum lebih cenderung mengkonsumsi lemak yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan kacang-kacangan yang kaya akan kandungan asam lemak tidak jenuh. Mereka sama sekali tidak mengkonsumsi diary products, berbeda halnya dengan masyarakat modern saat ini. Masyarakat modern saat ini kebanyakan mengkonsumsi diary product yang kaya akan kandungan lemak jenuh dan trans. Selain itu, masyarakat modern lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol.
Eaton et.al.  menyatakan bahwa pengalaman masyarakat paleolithikum dapat dijadikan standar untuk asupan nutrisi, dimana konsumsi asupan nutrisi mereka seimbang, yaitu tidak mengkonsumsi lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang terlalu tinggi. Akan tetapi berdasarkan hasil kajian yang dicantumkan dalam jurnal ini menyatakan bahwa konsumsi zat gizi haruslah sesuai dengan kebutuhan. Misalnya jika seseorang mengalami defisiensi zat besi maka haruslah mengkonsumsi makanan yang kaya akan kandungan zat besi. Akan tetapi, bagi orang-orang yang tidak mengalami defisiensi zat besi hendaknya mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi sewajarnya yang bertujuan untuk memelihara kesehatan. Konsumsinya tidak boleh berlebihan karena dalam jumlah berlebih zat besi tersebut juga dapat bersifat toksik bagi tubuh. 
Berdasarkan hasil kajian dari ketiga jurnal di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola makan yang mengikuti paleolithic diet dan gaya hidup hunter-gatherer cenderung lebih sehat dibandingkan dengan pola makan dan gaya hidup masyarakat modern. Adanya perubahan pola makan dan gaya hidup pada masyarakat modern dapat memicu munculnya berbagai macam penyakit degeneratif. Hal tersebut disebabkan sistem genetik masyarakat modern masih sama dengan sistem genetik masyarakat paleolithikum, dimana sistem genetik kita belum mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalkan faktor resiko dari berbagai macam penyakit degenaratif maka hendaknya masyarakat sekarang mencontoh pola makan dan gaya hidup masyarakat paleolithikum, yaitu pola makan yang lebih banyak mengkonsumsi makanan yang alami dibandingkan makanan yang diperoses secara sintetis, serta banyak berolahraga untuk membantu menjaga kesehatan.